Rabu, 16 Februari 2011

Ilmu dan Pengajaran Sastra

            Sastra bukanlah suatu benda  yang kita jumpai, sastra merupakan sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Teeuw  (2003 : 19) mengemukakan bahwa ilmu sastra sangat berbeda dengan cabang ilmu lain, karena objek utama dalam penelitiannya tidak tentu. Usaha untuk memberikan batasan yang tegas mengenai sastra dengan berbagai pendekatan, sejauh ini tidak memberikan hasil yang memuaskan karena umumnya hanya menekankan pada satu atau beberapa aspek saja, sehingga definisi tersebut hanya berlaku untuk sastra tertentu dan tidak mencakup sastra keseluruhan.
           
Istilah mengenai gambaran sastra dijelaskan Ratna ( 2003 : 1 ), kata sastra berasal dari kata sas- (Sansakerta) berarti mengarahkan, mengajar memberi petunjuk atau intruksi. Akhiran tra- berarti alat atau sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi makna jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik. Pengertian baik tersebut ditentukan oleh isi yang terkandung di dalamnya, bukan oleh bahasanya yang indah.
            Sastra merupakan dunia dalam kata, di dalamnya terdapat pernyataan atau pengungkapan dunia pengarang dan pembacanya yang kompleks dan menyeluruh. Dunia sastra merupakan dunia pengarang yang diciptakan secara bebas dan tanpa batas. Pengarang memiliki otoritas tersendiri dalam menciptakan karya-karyanya. Dalam novel misalnya, pengarang bisa dengan bebas dan sesukanya memodifikasi bahasa yang digunakan, padahal bahasa menjadi unsur penting dalam sastra. Kita sebagai pembaca seolah-olah  merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh pengarang. Oleh karena itu, memahami sastra kita tidak dapat berangkat dari suatu definisi tanpa adanya dasar yang jelas, tanpa ada sesuatu yang menjadikannya berbeda dengan yang lain, tetapi kita harus memahami ciri-ciri sastra untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai sastra itu sendiri. 
            Sastra merupakan salah satu sarana yang baik untuk memanusiakan diri dengan lingkungan, memiliki nilai sosial, menumbuhkan rasa cinta tanah air, dan sebagainya. Pernyataan ini menyiratkan bahwa karya sastra dapat membantu pembentukan pribadi yang sesuai dengan norma-norma kehidupan. Sebuah cipta sastra mengajak kita untuk mengenali orang lain. Sastra memiliki peranan yang besar dalam kehidupan. Untuk merealisasikan peranan sastra di atas,  salah satu caranya dapat direalisasikan melalui pengajaran sastra. Hal ini menandakan bahwa pembelajaran sastra memiliki peranan yang cukup penting.
            Pengajaran sastra di sekolah sangat beragam, mulai dari pengenalan sejarah sastra, pengejaran yang bersifat teori tentang penulisan karya sastra, dan pengajaran apresiasi sastra yang melibatkan unsur teori dan emosi. Kegiatan apresiasi ini sangat diperlukan dalam pengajaran sastra. Dengan kegiatan apresiasi ini siswa diharapkan akan lebih memahami sebuah karya sastra.
            Menyadari betapa pentingnya peranan sastra, kini fenomena yang muncul adalah adanya tanggapan-tanggapan negatif mengenai pembelajaran sastra. Tanggapan negatif tersebut berasal dari para pengajar sastra maupun dari kalangan sastrawan itu  sendiri. Pada dasarnya mereka berpendapat bahwa pengajaran sastra masih bermasalah. Tujuan pengajaran sastra di sekolah-sekolah pada umumnya lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan yang bersifat teoretis bukan pada aspek apresiasi sastra. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan pengajaran sastra di sekolah-sekolah kurang mengarah pada segi apresiatif. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor sarana buku pelajaran sastra, guru, sistem ujian, dan sastra Indonesia itu sendiri.
            Faktor pertama menyangkut masalah ada tidaknya buku pelajaran sastra. Fenomena ini bisa kita temukan dengan mudah di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dewasa ini lebih ditekankan pada pengajaran yang bersifat teoretis, hal ini salah satunya diakibatkan karena buku penunjang sastra yang memang sangat tidak memadai. Faktor sarana menyangkut tidak adanya perpustakaan sekolah yang tidak memadai sehingga buku-buku sastra yang tersedia kurang mendukung tercapainya tujuan pengajaran.
            Selanjutnya faktor guru ditinjau dari cara menyajikan materi, guru lebih menekankan pengetahuan tentang sastra dan kurang memperhatikan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan mengekspresikan karya sastra. Hal itu didukung pula oleh kondisi siswa yang merasa jenuh ketika harus belajar bahasa yang dianggapnya membosankan, ditambah lagi tidak adanya media yang mampu merangsang mereka untuk bisa menyukai pelajaran sastra.
Tujuan Pengajaran Sastra
a.      Pengetahuan Tentang Sastra    
            Secara garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian selanjutnya adalah memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra mencakup pengetahuan tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Sedangkan pengalaman bersastra mencakup kegiatan berapresiasi atau reseptip dan berekspresi atau produktif.
            Cakupan pengetahuan tentang sastra adalah tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.
            Wellek dan Warren (1989 : 38) menjelaskan bahwa teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan studi karya-karya kongkret disebut kritik sastra (pendekatan statis) dan sejarah sastra. Dari penjelasan tersebut dapat kita artikan bahwa teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
            Kritik sastra juga merupakan bagian dari ilmu sastra, meskipun ada istilah lain yang sering digunakan yaitu telaah sastra, analisis sastra, penelitian sastra, dan kajian sastra. Untuk menjadi seorang kritikus sastra diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.         
            Dari penjelasan kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Aktivitas kritik sastra mencakup tiga hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra.
            Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antara unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan dapat diartikan kegiatan memperjelas maksud karya sastra.
            Adapun aktivitas yang ketiga adalah penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Wellek dan Warren (1989 : 316) menjelaskan bahwa apabila kita berusaha menguraikan dengan rinci perhatian manusia pada sastra, kita akan mengalami kesulitan untuk menjabarkannya. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dipahami seorang kritikus.
            Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang berkecimpung pada masanya, karya-karya sastra yang bagus yang menghiasi dunia sastra, serta kejadian-kejadian yang terjadi seputar masalah sastra. Seorang sejarawan sastra selain harus mampu mendokumentasikan karya sastra, dia juga harus mampu membuat pemilahan hasil dokumentasinya berdasarkan ciri, gaya, klasifikasi, gejala-gejala yang ada, pengaruh, karakter dan lain-lain.
            Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat dalam karya sastra baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, pilihan kata, struktur maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar dan lainnya yang membangun sebuah karya sastra atau lazim juga disebut unsur intrinsik. Di sisi lain kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, meneliti, mengulas memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian terhadap karya sastra tersebut. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra, kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya sastra.
            Begitu juga hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari karya sastra dari waktu ke waktu, sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa atau suatu daerah diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode tertentu.
            Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra terjalin keterkaitan. Sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya intervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra, begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan apabila teori dan kritik sastra tidak jelas, dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.
b.      Pengalaman Bersastra
            Di bagian awal telah dijelaskan bahwa tujuan pengajaran sastra salah satunya adalah memperoleh pengalaman bersastra. Cakupan pengalaman bersastra adalah kegiatan berapresiasi dan kegiatan berekspresi.
            Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti mengindahkan atau menghargai. Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra. Dalam konteks yang lebih luas istilah apresiasi mengandung makna pengenalan, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai kehidupan yang diungkapkan pengarang. Apresiasi sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif.
            Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif itu selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri.
            Aspek emotif berkaitan dengan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau bersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.
            Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik atau buruk, indah atau tidak indah, sesuai atau tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespon teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu melakukan penilaian.
            Belajar apresiasi sastra pada dasarnya adala belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra,  manusia akan memperoleh asupan batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam kehidupan bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia.
            Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak maju. Kehadiran sastra dirasa semakin penting untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai diharapkan para alumnus  pendidikan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.
            Kegiatan berekspresi sastra diartikan sebagai kegiatan mengungkapkan perasaan lewat karya sastra. Banyak cara yang dilakukan seseorang ketika mengungkapkan perasaannya. Sekadar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidikan dan yang ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra. Kita selaku praktisi dalam dunia pendidikan kiranya pantas mengajukan pertanyaan seberapa besar kontribusi dan apresiasi terhadap karya sastra?.
            Dari sekian banyak kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaanya. Karena bukan tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap karya sastra. Hal ini berimbas kepada kemampuan untuk berekspresi dalam sastra, sangat sulit kita temukan saat ini para anak muda bangsa yang gemar membaca puisi, atau gemar bermain drama.
            Keadaan sulit ini mesti menjadi pemikiran kita bersama. Karya sastra mampu memberikan pelajaran kehidupan bagi penikmatnya. Tetapi keadaan kurikulum sekarang ini di sekolah-sekolah lebih menekankan kepada kemampuan berbahasa dengan lebih banyak mengorbankan aspek apresiasi sastra. Tentu sebuah hal yang sangat ironis bagi keberlangsungan sastra itu sendiri. 
            Ilmu sastra sangat berbeda dengan cabang ilmu lain, karena objek utama dalam penelitiannya tidak tentu. Sastra merupakan salah satu sarana yang baik untuk memanusiakan diri dengan lingkungan, memiliki nilai sosial, menumbuhkan rasa cinta tanah air, dan sebagainya.
            Secara garis besar tujuan pengajaran sastra adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang sastra dan memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra meliputi teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Meskipun sebenarnya masih banyak cabang-cabang ilmu sastra yang lainnya, seperti, sifat sastra, fungsi sastra, gaya, stilistika dan lain-lain. Tetapi dengan memahami teori, kritik, dan sejarah sastra seorang penikmat sastra akan mampu menjadi seorang apresiator yang baik.
            Memperoleh pengalaman bersastra bisa diartikan memperoleh pengalaman apresiasi dan ekspresi. Belajar apresiasi sastra pada dasarnya adala belajar tentang hidup dan kehidupan. Apresiasi sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif.
            Sedangkan berekspresi dalam sastra adalah kegiatan dimana kita mampu mencurahkan perasaan lewat sastra, bisa dengan bahasa lisan maupun dengan bahasa tulis. Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak maju. Kehadiran sastra dirasa semakin penting untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai diharapkan para alumni pendidikan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.
            Fenomena yang muncul di hadapan kita sekarang adalah semakin terseretnya kegiatan bersastra di sekolah-sekolah formal. Dengan keadaan kurikulum sekarang pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada kemampuan berbahasa dengan lebih mengorbankan sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J. S dan Zain S. M. (2001). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Ratna, N. K. (2003). Penelitian Sastra (Teori, Metode dan Teknik). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, N. K. (2005). Sastra dan Cultural Studies (Representasi fiksi dan Fakta). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rene Wellek dan Austin Warren. (1989). Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia
Teeuw, A. (2003). Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar